Sunday, November 17, 2013

Percakapan Dalam Dua Cangkir Kopi




Ada gerimis di luar sana, dan malam sudah menunjukkan pukul sebelas. Rumah yang asri itu sudah terlihat sepi, hanya sayup-sayup terdengar Foo Fighter menyanyikan Walking After You dari sebuah kamar yang lampunya masih menyala.

Dua gelas kopi yang masing-masing isinya tinggal setengah berdiri berdampingan ditemani sebatang rokok yang asapnya masih mengepul pelan diatas asbak. Hentakan jari diatas keyboard laptop ikut mengiringi suasana santai dikamar itu. Betapa malam terasa sangat dingin selama musim penghujan ini.
Salah satu dari pemuda itu masih sibuk dengan tulisan-tulisannya. Sesekali matanya menerawang ke luar jendela memandang jalanan basah yang masih dimandikan hujan, sesekali juga pandangannya diarahkan kedalam wajah seorang gadis yang terbingkai indah di dalam sebuah figura yang berdiri di meja kerjanya sejak dua tahun yang lalu. Wajah gadis itu ayu, ada senyum riang mengembang di bibirnya. Rambutnya yang panjang sebahu menjuntai bebas tanpa ikatan. Foto itu memandang ke arah yang lain, sedang berbincang dengan teman sebaya di sebelahnya.
Pemuda itu tersenyum, menghela nafas, kemudian kembali menuliskan kata-kata dihalaman blognya.

“Masih lama nulisnya Di?
Udah gue bilang berapa kali sih kalo itu puisi dan cerita pendek hanya akan percuma lu tulis kalo Nala sendiri ga pernah baca dan ga pernah tau itu semua buat dia. 
Mending buruan deh lu nemenin gue maen PS. Ga seru tau maen bola sendirian”

Tawa berderai, temannya ini memang selalu saja seperti itu. Meski terkesan tidak sabar, Ardi tahu sebetulnya Rio hanya ingin keberanian muncul dari hatinya. Keberanian yang sudah ditiupkan Rio dari dua tahun yang lalu saat tahu sahabat karibnya sejak kecil ini mulai jatuh cinta pada  seorang wanita, namun nyatanya keberanian itu hanya terbit dari puisi-puisi dan cerita pendek yang tepampang rapi di blognya.
Biarpun Nala tidak pernah membacanya dan tahu bahwa selama ini dialah inspirasinya, Ardi cukup puas menuliskan semua ini untuk para follower blognya. Biarlah aku nikmati cinta ini sendirian, memandang Nala dari jauh, dan mengagumi kelembutannya dalam tulisan-tulisanku.

Sejak pertemuan pertama saat Nala dikenalkan di depan ruang kelasnya, dia sungguh tahu bahwa hatinya sudah jatuh cinta. Tapi ternyata jatuh cinta pertama kali itu tidak begitu sederhana untukknya. Kakinya mendadak lemas, dan kata-kata tertahan ditenggorokan tiap kali gadis itu ada di dekatnya.
Sesungguhnya cukup banyak mahasiswi di kelas MIPA, jurusan yang dia ambil saat ini, dan tidak sedkit pula dari mahasiswi-mahasiswi itu yang berparas ayu dan menarik hati. Tapi Nala entah kenapa selalu terasa berbeda dimata Ardi dibandingkan kebanyakan wanita yang pernah dia kenal. Suaranya terdengar lebih lembut, senyumnya terlihat lebih menawan, dan ada aura tersendiri yang selalu membuat Ardi kagum. Mungkin memang jika seseorang jatuh cinta maka segala aspek dari orang yang dicintai terlihat satu tingkat lebih memukau. Sungguh jatuh cinta adalah rahasia ilahi.

“Udah bosen lu ya nemenin gue galau?” Ujar pemuda berkacamata itu sambil menghampiri temannya yang masih asik dengan stick Playstation di tangan.

“You should tell her bro.. Udah mo semester terakhir nih, abis lulus mo ambil beasiswa keluar juga kan?”

“Kadang gue mikir memang sebaiknya gue ga perlu bilang ke Nala perasaan ini , mencintai kan ga harus memiliki”

“Itu salah, dan itu pemikiran bodoh. Lu kalo sayang ya harus memiliki lah, biar bisa genggam tangannya, biar bisa jalan bareng di sampingnya, biar bisa ngapus air matanya kalo dia lagi sedih”

“Trus kalo cinta bertepuk sebelah tangan dan ga bisa memiliki gimana dong? Mo maksa? Ga gitu juga kan Yo”

“Ya seenggaknya ada effort dikit , kentut aja ditahan sakit, apalagi jatuh cinta diem-diem selama dua tahun”

“Jadi itu alasannya lu tiap kali suka sama cewe dikit-dikit langsung nembak dan dijadiin pacar ya? Trus ga lama putus-putus juga, prett!”

“Ini kenapa jadi bahas gue sih? Ya, bedalaaah.. gue kan mau cari yang terbaik, putus juga ga sepihak kok, itu karena udah sama-sama ga cocok aja”

“Ga ada Yo, cewe yang sempurna banget banget buat kita. Manusia ada kurangnya. Dan kekurangan itu harus kita terima dan kita isi dengan kelebihan yang kita punya. Itu namanya baru effort, memperjuangkan sesuatu dan ga langsung menyerah saat sedikit merasa tidak cocok. Mungkin cinta yang lu rasain itu ga besar makanya lu males memperjuangkan..”

“Errrr.. bisa ganti topik ga sih? Jangan bahas gue hehe…
Mungkin lu benar kalau selama ini cinta yang gue rasain ke mantan-mantan sebelumnya ga terlalu besar, makanya gue ga ada effort untuk mempertahankan. 
Anggaplah sahabatmu ini sedang mencari sosok wanita yang bisa bikin jatuh cinta beneran Di, bisa bikin puisi kayak yang lu bikin itu, dan berhenti centil sama cewe lain”

Tawa kembali berderai, sekarang hanya bunyi dari speaker televisi yang ikut larut dalam percakapan keduanya.

“Kadang Yo, yang buat gue takut untuk bilang suka ke Nala adalah diri gue sendiri. 
Selain takut ditolak yang akhirnya beresiko membuat hubungan pertemanan gue dan dia jadi aneh, kalaupun benar diterima gue takut jadi pacar yang menjengkelkan”


“Maksud lu apa Di?”

“Gue takut jadi pacar yang nyebelin, yang posesif, yang cemburuan banget sama Nala. Itu semua karena perasaan sayang gue terlalu besar. Gue seperti ingin menyelamatkan Nala dari diri gue sendiri Yo. 
Ditambah kalau gue betul ambil beasiswa ke luar negeri, lu pasti bisa bayangin betapa gue akan jadi pacar yang sangat nyebelin karena ga bisa selalu tahu kabar Nala.”

“Segitunya ya Di? Terus kalo Nala jadian sama orang lain lu gimana? Ga hancur tuh hati? 
Atau gimana kalo ternyata kalian bisa bertahan selama lagi jarak jauh, dan ternyata Nala orangnya sabar dan setia banget. Lu ga akan pernah tahu hal itu”

“Yo, yang bisa gue lakuin sekarang cuma seperti ini. Ga ada yang bisa gue janjiin ke Nala. Gue masih berjuang sama cita-cita gue, dan gue terlalu takut hubungan pertemanan gue malah jadi rusak kalau ternyata perasaan kami ga sama. 
Biar waktu aja yang menjawab deh, sapa tahu nanti kalo gue udah balik dari Jerman, dapet kerjaan yang bagus, eh ternyata si Nala jomblo dan bisa gue ajak nikah hehe.. 
Dan kalau takdir berkata lain, gue akan berusaha menerima dengan ikhlas. Belajar dari pohon, yang merelakan daunnya gugur dan tidak hilang kepercayaan bahwa Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu lebih baik.”

“Sesimple itu Di?”

“Iya mau diapain lagi, gue cuma bisa menjaga hubungan baik aja untuk sekarang ini. Hubungan baik yang indah, seindah puisi-puisi yang gue ciptain buat dia”

“Siapa yang bilang puisi lu indah sih, pujangga kutu bukuuuu…? Hahahaha… “

“Lu bulan lalu copas puisi gue buat gombalin cewe kan? Dasar Playboy modal dengkullll…”

Dan tawapun pecah dikamar itu, menghangatkan malam yang semakin larut, dan hujan yang belum juga berhenti”

“Bentar Yo, gw bikin kopi lagi ya. Abis ini gw maen pake Milan Ok?”

“Sip sip…”

Sambil menunggu sahabatnya, Rio berjalan pelan menuju meja kerja dan laptop yang masih menyala. Dibacanya deretan kata yang sedari sore digeluti Ardi. Ada senyum di bibirnya.

“Sahabatku ini benar-benar jatuh cinta” ujarnya dalam hati

Dipandangnya wajah Nala yang dipotret Ardi secara diam-diam dua tahun yang lalu. Dia ingat betapa bergetarnya tangan Ardi saat memegang kamera siang itu.

“Jangankan kamu Di, aku juga bergetar saat kau kenalkan siapa Nala. 
Dan kamu benar, dia sungguh berbeda dari wanita yang sama-sama pernah kita kenal dari dulu. 
Aku juga sering terdiam untuk beberapa waktu saat dia tiba-tiba muncul dihadapanku, berpapasan di koridor kelas, bertemu tak sengaja dikantin saat jam istirahat, dan riang tawanya sering tertinggal di telingaku sesaat setelah melihatnya berbagi canda dengan teman-temannya.
Tapi bagaimanapun aku menghormatimu, sahabatku. Karena kamu yang lebih dulu menemukannya dan mencintainya dalam diam. Karena aku tak sudi menyakitimu dengan mengatakan aku juga mencintai wanita yang sama. 
Aku dan kamu bukan hanya sahabat dari kecil, kita saudara. Tak terhitung berapa kali ibu dan ayahmu memarahi kenakalanku seperti memarahi anaknya sendiri, dan tak terhitung berapa kali tawa dan tangis kita bagi bersama-sama di kamar ini.
Karena menyakitimu berati menyakitiku juga. Maka biarlah aku simpan juga dalam diam perasaanku ini untuk gadis pujaanmu, meskipun hati ini sering berbisik bahwa mungkin saja Nala adalah perhentian terakhirku.”

Pintu terbuka, semerbak aroma kopi memenuhi ruangan. Kedua sahabat itu kembali tertawa sambil meneguk kopi masing-masing pada gelas yang berbeda.

——%%——

“Sudah malam La, masih aja ngeliatin wall dan timeline-nya Rio? Besok juga bisa dilihat dikampus kan?”

“Dia anak Ekonomi, kak. Sepertinya besok ga ada kelas deh”

“Ya ampun, adikku sampai hafal jadwal kuliah mahasiswa fakultas lain? Jadwal sendiri aja suka lupa, hmmmm…”

“Hahahaha.. kalau ga di hafalin gimana bisa ketemu. Dia sering berdua sama Ardi, kak. Teman sekelasku. Jadi mau ga mau aku hafal jadwal kuliahnya”

“Mau sampai kapan cuma lihatin fotonya dari depan monitor? Ngomong dong kalau kamu suka”

“Ga beraniiiiii… Lagian aku perempuan, aku ga akan memulai bilang suka duluan, dan itu prinsip yang akan aku pegang hingga sekarang. Trus Rio itu banyak yang suka, cantik cantik lagi. Aku tambah ga berani. Biar rasa sukaku kusimpan saja”

“Apa sih yang kamu suka dari cowo yang suka gonta ganti pacar?”

“Entahlah, mungkin aku sama seperti wanita lainnya. Yang seperti ini mungkin cuma rasa kagum biasa ya Kak?”

“Mungkin saja, yang pasti rasa kagum itu akan cepat hilang kalau kamu segera tidur dan tidak memandangi foto-foto di facebooknya lagi. Ayo La, udah malam nih.”

“Sebentar kak, Nala mau lihat lima menit lagi sebelum tidur hehehe…”

"Yaudah, tapi jangan terlalu larut sama perasaan ya... hati-hati sama sama playboy"

"Siap laksanakan!! hehehe..."

Perlahan rintik hujan berganti gerimis. Suara jatuhan airnya mengiring berbagai mimpi menuju muaranya. Seorang gadis kemudian terlelap dalam senyum pengharapannya, di sudut yang lain dua cangkir kopi kembali berkurang hingga setengah.

(mengutip analogi pohon yang ikhlas dari @gennasatria )

2 comments:

  1. Bagus banget mbak rini cerpenya,,
    beda dari erpen alay anak jaman sekarang.
    cerita kurang lebih sama dengan sketsa novel yang lagi saya buat.
    Judulnya Firman-Aditya.
    Dua orang sahabat yang sama2 mencintai gadis yang sama.
    Terus berkarya mbak rini.

    ReplyDelete
  2. Waaah... terima kasih banyak mbak Vera, saya baru belajar nulis hehe..
    Mbak juga semangat nulis novelnya ya, supaya saya bisa baca juga :)

    ReplyDelete